Halaman

APRESIASI SASTRA


Roman dalam masa pertumbuhan kesusastraan indonesia modern
(Aning Retnaningsih)
   Pertumbuhan kesusastraan indonesia modern itu tidak lain timbulnya akibat dari adanya pendidikan barat di indonesia. Istilah roman berasal dari bahasa perancis, sebuah bentuk karangan dalam bahasa “Roman”  yakni bahasa rakyat sehari-hari di negeri itu. Tak lama kemudian artinya berubah menjadi sebuah cerita, “hikayat” atau “kisah” tentang pengalaman-pengalaman kaum kesatria. Dalam sejarah roman, ternyata  bahwa tiap-tiap jaman tercermin dalam salah seorang tokoh roman. Dengan kata lain tokoh itu mencerminkan “karakteristik” suatu jaman. Unsur-unsur roman yaitu mengenai batasan roman, pembagian roman, objektivitas dan kepribadian pengarang, foreshadowing, tema (dasar inti tujuan cerita), plot (rentetan kejadian yang berhubungan satu sama lain yang meruoakan sebab-akibat), karakter  atau watak pelaku, gaya bahasa. Pembagian jenis roman berdasarkan tinjauan isi, gambaran, tujuan dan maksud pengarang yaitu:
·         Roman bertendens, menunjukkan keganjilan - keganjilan dan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat, dengan tujuan untuk memperbaikinya.
·         Roman psychologis, menggambarkan perangai, alam jiwa seseorang seta perjuangannya.
·         Roman sejarah, menceritakan seseorang dalam suatu masa sejarah.
·         Roman kanak-kanak, cerita yang melukiskan kehidupan dalam dunia kanak-kanak.
·         Roman ditektip, lukisan yanng mengajak pembaca untuk mempergunakan otaknya guna memikirkan akibat dari beberapa kejadian .
·         Roman perjuangan, melukiskan suasana perjuangan dan peperangan yanng diderita atau dialami seseorang.
·         Roman propaganda, isinya semata-mata untuk kepentingan propaganda terhadap masyarakat tertentu.
Roman dalam kesusastraan lama bentuknya membawa pembaca dan pendengar kedunia mimpi, seolah-olah dengan sekejap mata semuannya hidup dalam dunia kenyataan. Sedangkan roman moderen rancangannya sudah sangat luas. Kepribadian pengarang sendiri, disertai dengan pengalaman dan keadaan hidup sehari-hari yang bersifat kebetulan dan luar biasa, sampai kepada kepribadian batin yang mempunyai watak yang khas serta dengan keadaan rasa hati dan bentrokan jiwa yang timbul ole susunan watak itu. Mula pertumbuhan roman dalam kesusastraan indonesia modern sudah mulai timbul pada masa 1928 (Drs. Umar junus). Alasannya karena persoalannya sudah mulai meninngalkan donngeng-dongeng lama dan mengambil keadaan sehari-hari dalam gambarannya (Abdullah). Perbedaan kesusastraan lama dan kesusastraan baru itu terletak pada persoalannya. Persoalan-persoalan kesusastraan indonesia modern itu, ialah sudah terpenngaruhnya oleh aliran-aliran yang datang dari barat, di antarannya “individualisme”. Kesusastraan moderen lahir setelah aliran itu masuk dan berbekas pada kesusastraan Indonesia.
            Sepintas tentang perkembangan roman moderen dalam kesusastraan indonesia 91920-1945), penulisan roman pada masa ini, pada masa pertumbuhannya, selalu memberi gambaran tentang reaksi pertemuan kebudayaan barat dan timur di indonesia, tentang kawin paksa, salah satu aturan yang dikendalikan oleh adat, pertentangan-pertentangan kaum adat dan kaum muda, dan kawin campuran. Arti pendidikan dalam usaha menyadarkan golongan-golonngan bangsa. Dalam roman tahun duapuluhan sifat individualisme sudah terasa tapi masih berpusat pada soal persoalan. Adanya “tendens” mengajar dan mendidik masyarakat biasanya sangat ditonjolkan oleh pengarang-pengarang sehingga jalan ceritanya selalu terantuk-antuk, karena diselinggi dengan nasihat-nasihat yang d ucapkan pengarang. Beberapa buku roman yang terpenting dalam tahun duapuluhan (1920-1928), azab dan sengsara, siti nurbaya, salah asuhan, perbandingan roman Salah Asuhan dan roman Siti Nurbaya, Darah muda dan asmara Djaja.
            Roman di luar penerbitan balai pustaka, Banyak karya sastra yang mengambarkan keadaan masyarakat dan kenyataan-kenyataan yang terjadi sekelilingnya terutama kemiskinanan, kesengsaraan, dan kebobrokan masyarakat, bukan terutama bermaksud untuk menghilangkannya, akan tetapi semata-mata menurut pengakuannya sendiri, menggambarkan dan menerangkan. Namun bentuk karangan ini, merupakan bentuk karanganan yang belum dapat diterima dalamm kesusasatraan Indonesia pada masa itu. Taraf kesusastraan pada masa itu condong pada usaha mendidik rakyat, beriktihtiar menghilangkan kemiskinan dan kesengsaraan, serta menuntut kemajuan-kemajuan dan memperjuangkan hidup berdasarkan pengaruh kebudayaan baru. Karena cerita banyak dikarang oleh pelajar yang menggangap pembacanya setingkat dengan pengetahuan mereka, sehingga kerap kali terlalu tinggi mutunya bagi rakyat jelata dan terlalu berat isinya bagi rakyat. Hal ini membuat penerbit balai pustaka tidak dapat mencapai rakyat banyak, sehinnga ini memberi kesempatan pada penerbit  partikulir di luar penerbit balai pustaka.
Gejala perpisahan antara angkatan tua dan angkatan muda ini, sangat terlihat jelas dalam isi maupun bentuk kesusastraan dalam masa pertumbuhannya, terutama dalam tahun duapuluhan. Tiap-tiap pengarang kesusastraaan modern ini, memberikan perasaannya masing-masinng, sehingga hasil karyanya merupakan tulisan yang lancar, licin dan segar. Tiap pengarang mempunyai gaya bahasannya tersendiri.



Laporan Baca
IDENTITAS BUKU
Judul Buku      : Kesusastraan Indonesia Modern dalam kritik dan   esai II
Pengarang       : H.B Jassin
Penerbit           : PT Gramedia
Tahun Terbit    : 1985
Dalam buku ini pengarang mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan kesusastraan Indonesia sekitar tahun 1945.Setiap penulisan sejarah sastra tentu masing-masing penulis memiliki kecenderungan tersendiri sehingga menimbulkan perbedaan penulisan.Kemudian berkaitan dengan sejarah sastra Indonesia pasti dalam penulisan selalu tampak periodisasi (pembabakan waktu).H.B Jassin dalam karyanya ini lebih memusatkan pembahasan tentang sastra angkatan 45.Menurutnya ciri dari cerpen angkatan 45 diantaranya yaitu tentang guncangan jiwa pada masa Jepang yang dilanjutkan dengan masa revolusi.
Sebutan angkatan 45 diungkapkan oleh seorang sastrawan Revolusioner Indonesia,Chairil Anwar.Menurut H.B Jassin dengan sebutan angkatan 45 menyebabkan terjadinya kontroversi di antara sebagian orang karena tidak setuju dengan sebutan tersebut. Angkatan 45 muncul setelah angkatan Pujangga Baru.Dalam surat kepercayaan Gelanggang,memperlihatkan bahwa angkatan 45 memiliki konsep yang humanis universal.Selain itu angkatan sesudah perang cenderung menghilangkan pemakaian gaya bahasa yang superlative yang disukai angkatan Pujangga Baru.
Beberapa sastrawan yang diuraikan dalam buku ini diantaranya:

·           Chairil Anwar,
membawa aliran ekspresionalisme(pendekatan sumber asal pikiran dan keinsafan.Dalam sajak-sajak dan prosa-prosanya ia cenderung memakai kiasan dan kata-kata yang menggali inti hakikat dan memberi warna yang berbeda dalam karyanya.Ia memiliki kumpulan prive dari tahun 1943-1945 yang diberi nama ‘kerikil tajam’.Selain itu ada juga karyanya  yaitu ‘White Naked Buner’.
·           S.Rukiah
Dalam menulis sajaknya ,lebih cenderung mengungkapkan ikiran dari pada pengungkapan perasaan.Selain itu pengungkapannya lebih prosais dan kurang mengangkat  keseimbangan piker dan rasa.
·           Waluyati
Warna yang diberikan dalam sajak-sajaknya memberi  unsur mistis dan universal.
·           Achdiat K Mihardja
Romannya ‘Atheis’diwarnai dengan unsur adat istiadat,emansipasi dan paham yang radikal.Selain itu gaya bahasanya juga kenal dengan unsure sejarah dan filsafat serta gaya cerita yang lucu.
·           M Balfas
Salah satu karyanya yaitu berjudul ‘Dr Cipto Mangunkusumo democrat sejati’.Karangannya tersebut memiliki nilai documenter bagi sejarah pergerakan dan perjuangan kebangsaan.
·           Rivai Apin
Beliau merupakan murid Chairil Anwar yang mengungkapkan kesedihannya ketika kehilangan Chairil Anwar melalui karyanya ‘hasilkah atau orangkah jadi ukuran?’
·           Idrus
Beliau adalah seorang pengarang novel’Surabaya’.Dalam karanngannya ia muncul dengan corak satire.namun karya-karya Idrus kurang mendapat sambutan  dari masyarakat
·           Pramoedya Ananta Toer
Beliau erupakan salah satu anggota pengarang keluarga gerilya.Karyanya banyak yang bertemakan kesejarahan,semangat zaman dan lain sebagainnya.


LAPORAN BACA
IDENTITAS BUKU
Judul Buku      :Peristiwa Sastra
Penulis             :Drs.Soetarno
Penerbit           :Widya Duta
Tempat Terbit  :Surakarta
Tahun Terbit    :1976
Tebal Buku      :155 halaman

Buku ini membahas tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan kesusastraan Indonesia yang dibagi menjadi:
1.      Kesusastraan lama:berkembang sampai + tahun 1800,terdiri dari kesusastraan zaman purba,mencerminkan zaman sebelum adanya pengaruh India(do’a mantera,silsilah,dongeng,dll),kesusastraan zaman hindu,mencerminkan adanya pengaruh hindu,dan kesusastraan zaman Islam,dipengaruhi oleh kesusastraan dari Arab yang masuk ke Indonesia
2.      Kesusastraan peralihan:berkembang pada zaman Abdullah(lahir tahun 1796 dan meninggal tahun 1854)
3.      Kesusastraan Baru:berkembang sejak berdirinya Balai Pustaka tahun 1908,terdiri dari angkatan 20(Balai Pustaka),angkatan 30(Pujangga Baru),dan angkatan 45.Beberapa aliran dalam kesusastraan yaitu:
Aliran romantik,mengutamakan perasaan.Misalnya:Hikayat Si Miskin,Siti Nurbaya,dll.Aliran realisme,melukiskan kenyataan sehari-hari.Misalnya:Keluarga Gerilya,Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma,dll.Aliran naturalisme,sama dengan realisme namun cenderung melukiskan hal-hal yang jelek.Misalnya:Belenggu,Jalan Tak Ada Ujung.Aliran neo-naturalisme,melukiskan kenyataan baik hal-hal yang baik maupun yang buruk.misalnya:Tak Putus Dirundung Malang,Andang Teruna,dll.Aliran surrealisme,melukiskan kenyataan secara luas  baik yang disadari maupun tidak disadari.Misalnya:Tidak Ada Esok,Jalan Tak Ada Ujung,dll.Aliran simbolisme,melukiskan kenyataan dengan penyerapan panca indra.Misalnya:Misi Mencari Manfaat,Tinjaulah Dunia Sana.Aliran mysticisme,melukiskan pengalaman dalam mencari dan merasakan nafas ketuhanan .Misalnya:Syair Perahu,Kekasih Abadi,dll.Aliran psychologisme,melukiskan gerak-gerik jiwa dan perjuangan batin seseorang.Misalnya:Belenggu,Atheis,dll.Aliran idealisme,melukiskan apa yang menjadi cita-cita untuk masa yang akan datang.Misalnya:Layar Terkembang,Pertemuan Jodoh,dll.Aliran ekspressionisme,melukiskan penglihatan dan pendengaran jiwanya.Misalnya:sanjak Chairil Anwar yang berjudul 1943,Do’a,Isa,dsb.Aliran impressionisme,melukiskan kesan atas segala kesan yang dialami dan dilihat.Misalnya:sanjak sanjak Chairil Anwar terjemahan karangan Marie Rilke(bangsa Jerman)
Jenis Prosa lama:dongeng,fabel,parabel,legenda,sage,mythe,hikayat,sejarah,silsilah,eposJenis  Prosa baru:kisah perjalanan,riwayat,roman,novel,cerpen,essay,kritik,studi,drama.Balai Pustaka adalah nama badan dari komisi bacaan rakyat yang didirikan Belanda pada 14 September 1908 sebagai bentuk politik etis kepada rakyat Indonesia dan dimaksudkan agar rakyat bumi putra tidak membaca bacaan yang dapat membahayakannya.Tulisan yang diterbitkan Balai Pustaka harus memenuhi syarat yaitu tidak boleh berbau politik,harus netral dari agama,dan bersifat membangun.Sastrawan angkatan Balai Pustaka:Rustam Efendi,karyanya drama berjudul Bebasari,Merari Siregar,romannya Azab dan Sengsara,dll.
Selanjutnya muncul angkatan Pujangga Baru sebagai realisasi dari menggeloranya semangat persatuan saat itu.Majalah Pujangga Baru terbit tahun 1933 dengan pelopor Sutan Takdir Alisyahbana,Sanusi Pane,Armyn Pane,Amir Hamzah.Sastrawan Angkatan Pujangga Baru:Amir Hamzah(kumpulan sanjak Buah Rindu,Nyanyi Sunyi).A.Hasymy(sanjak sawah),J.E Tatengkeng(karangan puisiny dalam buku Rindu Dendam).
Angkatan ‘45
Akibat dari penindasan,kekejaman,janji-janji kosong dari Jepang,muncullah corak kesusastraan baru yang disebut angkatan ’45.Sastrawan:Idrus dengan karyanya Coret –Coret dibawah Tanah.Rosihan Anwar dengan cerpennya Radio Masyarakat,dll.Nama angkatan ’45 baru didapat tahun 1949 oleh Rosihan Anwar.Kemudian pada tanggal 18 Februari 1950 diadakan pendirian/konsepsi tentang angkatan 45 melalui surat kepercayaan Gelanggang dan disiarkan dalam majalah Siasat tanggal 22 Oktober 1950.Sastrawan: Chairil Anwar,Waluyati( dengan sanjaknya berjudul Siapa?,Engkau, Telaga Remaja),W.S Rendra (kumpulan sanjak Ballada Orang-Orang Tercinta) dll.

LAPORAN BACA
PENGANTAR APRESIASI KARYA SASTRA
Drs.Aminudin, M.Pd.
            Dalam bukunya yang berjudul “pengantar apresiasi karya sastra” Aminudin membagi menjadi 2 bagian tentang apresiasi karya sastra, bagian pertama yaitu apresiasi prosa fiksi sedangkan bagian kedua yaitu apresiasi puisi.
            Sekarang kita akan membahas bagian pertama terlebih dahulu yakti tentang “apresiasi prosa fiksi”. Apresiasi karya sastra sebagai kegiatan membaca. Membaca dapat dibedakan dalam berbagai ragam sesuai dengan, tujuan, proses kegiatan, objek bacaan, dan media yang digunakan. Rumusan yang di maksud adalah sebagai berikut, membaca adalah mereaksi, membaca adalah proses, membaca adalah pemecahan kode dan penerimaan pesan. Tanpa disertai rumusan pengertian serta latar tujuannya, diatas telah sering disebutkan adanya beberagam membaca yang meliputi, membaca dalam hati, membaca cepat, membaca teknik. Dapat disimulkan bahwa membaca akan meliputi beberapa tahapan, yakni tahap pemahaman media bentuk tulisan, tahap pemahaman media kebahasaan, tahap pemahaman aspek leksis-semantis, tahap penarikkan kesimpulan. Penilitian pembacaan teks sastra secara lisan membaca teknik dan membaca estetik sebagai bentuk kegiatan dengan kegiatan menikmati karya sastra.
            Pengertian dalam bekal awal dalam apresiasi sastra. Apresiasi berasal dari bahasa Latin preciato yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Apresiasi melibatkan tiga unsure yakni, aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif. Kegiatan langsung dan kegiatan tak langsung dan menghargai apresiasi sastra. Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung itu pada gilirannya akan ikut berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi sastra jika bahan bacaan tentang sastra yang ditelaahnya itu memiliki relevansi dengan kegiatan apresiasi sastra. Bekal awal apresiasi sastra. Bahwa pada saat membaca suatu karya sastra, dalam kegiatan tersebut ia selalu berusaha menciptakan sikap serius, tetapi dengan suasana batin riang.
            Pendekatan dalam apresiasi sastra. Pendekatan sebagai suatu prinsip dasar atau landasan yang digunakan oleh seseorang sewaktu mengapresiasi karya sastra dapat bermacam-macam. Pendekatan parafrastis dalam mengapresiasi karya sastra, pendekatan ini biasa dilakukan pada saat mengapresiasi puisi dan tidak digunakan dalam apresiasi prosa fiksi. Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra, suatu pendekatan yang berusaha menemukan unsure-unsur yang mengacu emosi atau perasaan pembaca. Pendekatan analitis dalam mengapresiasi sastra, suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara pengarang menampilkan gagasan atau mengimajinasikan ide-idenya, sikap pengarang dalam menampilkan gagsannya, elemen intrinsic dan mekanisme hubungan dari setiap elemen interinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknannya. Pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang , latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca. Pendekatan sosiopsikologis, memahami latar belakan kehidupan sosial-budaya, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan kehidupannya. Pendekatan didaktis, berusaha menemukan dan memahami gagasan, tanggapan evaluative maupun sikap pengarang terhadap kehidupan.
            Tinjauan pendekatan dan teori serta manfaat dalam mengapresiasi sastra. Kompleksitas unsure itu sedikitnya meliputi unsur , kebahasaan, struktur wacana, signifikan sastra, keindahan, sosial-budaya, nilai, latar kesejarahannya. Aliran fenomenologi, misalnya merupakan aliran yang lebih perhatian pada aspek makna dan nilai yang terkandung dalam teks sastra. Manfaat mengapresiasi sastra ada dua, manfaat secara umum dan manfaat membaca sastra secara khusus. Manfaat secara umum disini, sebenarnya yang dimaksud adalah menfaat membaca sastra yang di peroleh oleh pembaca yang pada umumnya lewat generalisai. Manfaat membaca sastra secara khusus, memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan,memperkaya pandangan atau wawasan, memahami nilai-nilai budaya dari setiap zaman, mengembangkan sikap kritis pembaca dalam mengamati perkembangan zamannya.
            Pemahaman unsur-unsur dalam prosa fiksi. Kisahan atau cerita yang di emban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi. Setting selalu memiliki hubungan dengan penokohan, perwatakan, suasana cerita atau atmosfer, alur atau plot maupun dalam rangka mewujudkan tema suatu cerita. Setting juga masih memerlukan adanya penafsiran karena sering kali pengarang tidak mengungkapkannya secara jelas. Unsur gaya dalam karya fiksi tidak lepas dari, masalah media yang berupa kata dan kalimat, kandungan makna dan nuansa maupun keindahannya, seluk-beluk pengarang. Penokohan dan perwatakan dalam prosa fiksi, pemahaman plot dalam prosa fiksi, titik pandang : menampilkan para pelaku dalam cerita yang di paparkannya, tema dalam prosa fiksi.
            Mimemis dan diegesis,  mimemis adalah penciptaan yang semata-mata bertumpu pada realitas yang ada atau mewujud diluar diri pengarang, diegesis adalah penciptaan yang semata-mata bertumpu pada kesadaran batin personal pengaranganya. Puisi sebagai sebuah struktur abstrak dan upaya memahaminya. Tiga unsur yang hadir dalam teori membaca tzvetan todorov, yaitu proyeksi, komentar dan puitika. Pemaknaan bentuk lewat semiotika, sebagai realitas yang dihadapkan ke pembaca. Pemaknaan teks lewat post-structuralsm, cara kerja harus mempertentangkan sinkronis-diakronis. Pemanfaatan sejumlah teori dalam memaknai puisi: beberapa penyimpulan.
            Puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasinya. Ragam puisi: puisi epik, puisi naratif, puisi lirik, puisi dramatik, puisi didaktik, puisi satiric, romance, elegy, ode, himne. Unsur bunyi dalam puisi yakni, rima, irama dan ragam bunyi. Kata dalam puisi dapat dibedakan antara lain, lambing, utterance atau indice, symbol. Gaya bahasa puisi sebagai berikut; metaphor, metinimi, anaphora, oksimoron. Beberapa lapis makna dalam puisi, lapis bunyi, lapis arti, lapis realitas, realitas dari titik pandang tertentu, metafisis. Sebagai salah satu ganre sastra, puisi selain mengandung nilai-nilai kehindahan, kehidupan, sosialpsikologis, juga mengandung nilai kesejarahan. Puisi sangat erat hubungannya dengan filsafat dan agama. Pendekatan dalam mengapresiasi puisi yang berusaha memahami nilai-nilai kehidupan di dalamnya juga diistilahkan dengan pendekatan didaktis.


LAPORAN BACA : APRESIASI KESUSASTRAAN
Jakob Sumarjo & Saini K.M
            Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan, sedang tugas membuat batasan adalah kegiatan keilmuan. Sastra bukan ilmu, sastra adalah seni. Sastra itu tergantung pada tempat dan waktu. Sebuah batasan sastra sulit menjangkau hakikat dari semua jenis bentuk sastra. Sebuah batasan tentang sastra biasanya tidak hanya berhenti pada membuat pemerian saja (deskripsi), tetapi juga suatu usaha penilaian. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Batasan lain mengatakan bhwa sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimaterikan dalah sebuah bentuk keindahan. Sastra juga adalah semua buku yang memuat perasaan yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk yang mempesona. Jadi, sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, kenyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Adapun syarat-syarat keindahan ; keutuhan, keselarasan, keseimbangan, fokus atau pusat penekanan sesuatu unsur. Suatu karya sastra sebagai bermutu harus berdasarkan penilaian bentuk, isi, ekspresi, dan bahasanya. Manfaat karya sastra yaitu ; karya sastra besar memberi kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini, memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, menolong pembacanya menjadi manusia berbudaya. Yang dimaksud dengan peristiwa sastra ialah peristiwa yang terdiri dari kegiatan mendengar atau membaca karya-karya sastra, menciptakan karya-karya sastra, dan memberikan kritik terhadap karya-karya sastra. Karya sastra juga mempunyai nilai-nilai seni juga yaitu dalam bentuk kepuasan karena pendengar atau pembaca dapat memahami dam mengagumi  penguasaan sastrawan atas berbagai cara hingga ia dapat menyampaikan isi hatinya dengan sempurna.
            Jenis sastra ada berbagai macam serta masing-masing jenisnmemiliki watak dan bentuk yang berbeda-beda. Ada 3 hal yang membedakan karya sastra dan bukan karya sastra yakni ; sifat khayali sastra, adanya nilai-nilai seni dan adanya cara penggunaan bahasa secara khas. Sastra dapat digolongkan menjadi  2 kelompok jenisnya yaitu sastra imajinatif dan sastra non imajinatif. Ciri sastra imajinatif adalah karya sastra yang lebih banyak bersifat khayali, menggunakan bahasa yang konotatif, dan memenuhi syarat-syarat estetika seni. Cirri sastra non imajinatif adalah karya sastra yang lebih banyak unsure faktualnya daripada khayalinya, menggunakan bahsa yang cenderung denotatif, dan memenuhi syarat-syarat estetika seni. Jenis sastra non-imajinatif karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, otobiografi, dan sejarah kadangkala dimasukkan pula jenis memoir, catatan harian dan surat-surat. Penggolongan sastra imajinatif adalah karya-karya prosa dan puisi, jenis karya sastra prosa bersifat khayali. Jadi genre sastra prosa lebih banyak menggunakan bahasa secara denotative disbanding dengan karya sastra puisi. Jenis adalah fiksi dan drama yaitu ; novel, cerpen, novelet. Genre puisi terdiri dari bentuk-bentuk puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
            Cerpen adalah cerita atau narasi yang fiktif serta relative pendek. Plot seing dikupas menjadi ; pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, pemecahan soal. Tema adalah ide dari sebuah cerita, pengarang dalm menulis ceritanya bukan sekedar mau bercerita, tapi mau mengatakan sesuatu pada pembacanya. Kecenderungan cerpen modern adalah penekanan pada unsure perwatakan tokohnya. Mutu sebuah cerpen banyak ditentukan olah kepandaian penulis menghidupkan watak tokoh-tokohnya. Pemilihan setting dapat membentuk tema tertentu dan plot tertentu. Setting bisa berarti banyak yaitu tempat tertentu, daerah tertentu, orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup tertentu, cara berpikir tertentu. Point of view pada dasarnya adalah visi pengarang, artinya sudut pandang yang diambil pengarang untuk melihat suatu kejadian cerita. Gaya adalah cara bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan dan menceritakannya dalam sebuah cerpen, itulah gaya seorang pengarang. Suasana dalam cerpen membantu menegaskan maksud pengarang.
            Sebagai bentuk pengalaman yang khas, karya-karya puisi meminta  cara pemahaman yang khas pula. Karya puisi di samping merupakan jaringan irama dan bunyi adalah juga jaringan citra dan lambang, hal ini merupakan alat penyair untuk menangkap pengalaman. Memahami fungsi jarinagn citra dan lambang dalam suatu karya puisi dapat pula diartikan sebagai memahami dan menghayati pengalaman yang ingin disampaikan penyair. Gaya bahasa, cara menggunakan bahasa agar daya ungkap atau daya tarik atau sekaligus kedua-duanya bertambah. Irama dalam bahasa ialah pengulangan pola wakyu dan pola tekanan yang terjadi secara teratur. Bunyi bahasa memiliki daya lain yang sangat penting yaitu daya ungkap. Langkah pertama apresiasi adalah ketrlibatan jiwa, yaitu suatu peristiwa ketika pembaca atau pendengar memikirkan, merasakan, dan membanyangkan kembali apa yang pernah terpikir, tersa, dan terbayangkan oleh penyair.
            Anatomi sastra drama, plot atau alur cerita, struktur dramatic Aristoteles, tokoh cerita atau karakter, bahasa, buah pikiran atau tema, dan dorongam atau motivasi. Bagian naskah lain adalah prolog, prolog adalah bagian naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal. Plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hokum sebab-akibat. Unsur dari plot yakni ; ketegangan, dadakan, ironi dramatik. Struktur adalah suatu kesatuan dari bagian-bagian, yang kalau satu diantara bagiannya diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. Adapun bagian-bagian itu adalah eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi. Sifat dan kedudukan tokoh cerita di dalam suatu karya sastra drama beraneka ragam. Ada yang bersifat penting dan digolongkan kepada tokoh penting (major) dan ada pula yang tidak terlalu penting dan digolongkan kepada tokoh pembantu (minor). Tinhkah laku dan perkataan tokoh-tokoh cerita itu niscaya akan membangkitan perhatian dan memimbing pembaca atau penonton yang peka untuk memahami, menghayati, dan menyimpulkan buah pikiran pengarang. Bahasa menggerakkan plot atau alur. Bahasa menjelaskan latar belakang dan suasana cerita. Bahasa sangat penting hubungannya dengan tokoh cerita. Bahasa berperan besar dalam mengungkapkan buah pikiran pengarang. Buah pikiran pengarang atau dramawan memiliki beberapa fungsi terhadap unsure-unsur drama yang lain. Buah pikiran merupakan tujuan akhir yang harus diungkapkan oleh plot, karakter, maupun bahasa. Motivasi adalah unsure yang menentukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap percakapan yang diucapkan oleh tokoh cerita, khususnya tokoh utama atau protagonis. Langkah pertama dalam apresiasi karya drama adalah keterlibatan jiwa, suatu peristiwa ketika pembaca atau penonton menyimak pikiram dan perasaan pengarang dalam hubungan dengan suatu masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya.



LAPORAN BACA : APRESIASI SASTRA INDONESIA
Dr. Djoko Saryono, M.Pd
            Apresiasi sastra adalah proses pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan, subjektif dan eksisitensial, rohaniah dan budiah, khusuk dan kafah, dan intensif dan total supaya memperoleh sesuatu dari padanya sehingga tumbuh, berkembang, dan terpiara kepedulian, kepekaan, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Kritik sastra, penelitian sastra, sosiologi sastra, psikologi sastra, dan lain-lain pada umumnya juga memberlakukan sastra sebagai artefak. Garap apresiasi sastra, yaitu wilayah yang menuntut internalisasi, subjektivitas yang jujur dan luhur serta mulia, dan individual bergantung pada pengapresiasinya.
                Apresiasi sastra dapat dikatakan dunia-perjumpaan antara dunia manusia dan dunia kewacanaan. Pengalaman literer-estetis, pengalaman yang mengacu pada keindahan, kenikmatan serta keamanan oleh segala unsure yang ada dalam karya sastra dan hubungan dari segala unsure yang ada di dalam karya sastra. Pengalaman humanistis, pengalaman tentang nilai kemanusiaan serta menjunjung harkat dan martabat manusia dan menggambarkan situasi dan kiondisi kemanusiaan. Pengalaman etis dan moral mengacu pada pengalaman yang berisi dan bermuatan, melukiskan serta menyajikan bagaimana seharusnyakewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai manusia. Pengalaman filosofis, sastra diperlakukan sebagai wahana pengungkapan dan pencetusan gagasan filsafat dari penulis yang di tujukan kepada pembaca. Pengalaman religius-sufistis-profetis, tema, unsure, dan isi karya sastra di pasrahkan pada wilayah rububiyah dan pengapresiasai mampu memasuki wilayah tersebut. Pengalaman magis-mitis, karya sastra yang mengandung pengalaman budaya masa lampau dan dikemas dalam cerita suatu mozaik budaya. Pengalaman psikologis, karya sastra yang baik sering memancarkan sinyal-sinyal psikologis kepada pengapresiasinya atau pembacanya. Pengalaman sosial budaya, karya sastra selalu melukiskan suatu kenyataan sosial budaya meskipun cara pelukisannya metaforis dan atau simbolis dan yang dilukiskannya mungkin tidak sama dengan kenyataan sosial budaya sehari-hari. Pengalaman sosial politis, karya sastra sering menanggapi dan memanfaatkan kenyataan kehidupan dalam suatu masyarakat atau bahkan bangsa dan Negara.
            Pengetahuan lebih konseptual, kognitif, dan diskursif dibandingkan dengan pengalaman yang naratif, ekspresif dan subjektif sekali. Kesadaran, radar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi diharapkan bisa mengirimkan sinyal-sinyal kesadaran kepada nurani,rasa, dan budi si pengapresiasinya, dan pada waktu kita mengapresiasi sebuah karya sastra memerlukan hal tersebut untuk bisa memperoleh kesadaran betapa estetiknya, indahnya karya sastra yanh diapresiasi. Hiburan, karena sastra (puisi,fiksi,dan sastra-dramatik) yang di buat secara jujur dan sungguh-sungguh selalu menghibur, dan memiliki permainan yang menenangkan dan menghibur pembaca. Dan sering kita merasa terhibur karena telah menemukan suatu fenomena yang parodis dan melecehkan pada waktu mengapresiasi sastra.
            Fungsi eksperensial, fungsi yang menyediakan, menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan pengalaman manusia kepada apresiator sastra agar ia dapat menjiwai, menghayati serta menikmati pengalaman manusia tersebut. Fungsi informatif, fungsi yang menunjukkan suatu pengetahuan kepada apresiator sastra agar ia dapat menikmati pengetahuan itu. Pengetahuan yang belum disimpulkan dan dirumuskan, tetapi masih terceritakan dan terjabarkan. Fungsi penyadaran, disajikan oleh apresiasi sastra kepada pengapresiasai sastra adalah gambaran sesuatu yang memberikan kesadaran yang dapat disimpulkan oleh pengapresiasi. Fungsi rekreatif dalam hal ini memberikan hiburan kepada pengapresiasi bilamana ia melakukan apresiasi suatu karya sastra. Kepaduan fungsi-fungsi diatas, hal ini bergantung pada proses keberlangsungan apresiasi sastra, pengapresiasi sastra, dan karya sastra itu sendiri.

ERNY KURNIA DARMAWATI
PB 2011 / 112074049
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
           
           
LAPORAN BACA

Judul buku      :           Sejarah Sastra Indonesia
Pengarang       :           Drs. Yant Mujianto dan Drs. H. Amir Fuad, M.Hum.
Penerbit           :           UNS Press
Tahun terbit     :           2007
Kota terbit       :           Surakarta

Dalam buku Sejarah Sastra Indonesia oleh Yant mujianto dan amir Fuad ini dijelaskan mengenai periodesasi sastra dan hal-hal yang berkaitan dengan periode tersebut, yang intinya:
*      Sejarah sastra lahir setelah adanya teori sastra, namun bisa muncul bersamaan dengan bagian dari ilmu sastra yang banyak menghadirkan istilah-istilah dan rumusan-rumusan tentang sastra.
*      Sastra Indonesia dibagi dalam masa kelahiran dan masa perkembangan. Masa kelahiran terdiri dari Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Kesusastraan Indonesia masa Jepang. Masa perkembangan terdiri dari: Angkatan ’45, Generasi Kisah, Angkatan ’66 / Generasi Manifes Budaya, Angkatan ’70-an, 80-an, 90-an, Angkatan 2000, Awal Abad XXI
*      Pada Angkatan Balai Pustaka yang menonjol adalah bentuk puisi lama. Prosa pada zaman ini mencerminkan pertumbuhan nasionalisme. Pujangga Baru mempunyai corak agag sempit dan lokal, dan lahirnya Majalah Pujangga Baru telah memberi kesempatan terbit pada sejumlah karya sastra yang merupakan titik puncak dalam kesusastraan Indonesia modern. Roman-roman Azab dan Sengsara, Siti Nurbay, Katak hendak Jadi Lembu, Salah Pilih Karena Mertua, Apa Dayaku Karena Aku Perempuan terbitan Balai Pustaka merupakan pengisi Khazanah angkatan ini. Novel-novel Balai Pustaka biasanya disebut sebagai ciri zaman awal kesusastraan Indonesia Modern. Sastrawan angkatan Balai Pustaka antara lain: Merari Siregar, Marah Rusli, Rustam Efendi, M. yamin, Abdul Muis, M.kasim, Aman Datuk Mudjoindo, Jamaluddin Adi Negoro, dll.
*      Angkatan Pujangga Baru dipelopori oleh Sutan takdir Alisyahbana, Ami hamzah, Armijn Pane. Angkatan ini membawakan ciri keindonesiaan, yang lebih merdeka,dinamis intelektual dan bercorak romantis idealis. Sastrawannya antara lain: Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Arminj Pane, Yan Engelbert Tatengkeng, dll.
*      Pada Angkatan Masa Jepang dan Angkatan ’45 aliran kesusastraan baru lebih melibatkan diri dalam kehidupan yang pada masa tersebut serba keras, pahit, dan mengharukan. Yang menjadi tujuan aliran tersebut adalah kemanusiaan. H.B. Jassin menyebutkan Chairil adalah pelopor angkatan ’45. Sastrawannya yaitu: Chairil anwar, Idrus, Asrul Sani, Rosihan Anwar, H.B. Jassin, Pramudya Ananta Nur, Achdiat Kartamihardja, dll.
*      Masa Generasi Kisah/Dekade 50-an, muncul Lekra dengan ideologi marxisme sebagai landasan satu-satunya. Tekanan lekra terhadap kebebasan kehupan kesusastraan semakinkeras pada tahun 1959. Setelah itu muncul Manifes kebudayaan yang kemudian mendapat sambutan yang sangat baik. Sastrawannya yaitu: Ayip Rosidi, Muchtar Lubis, Toto Sudarto Bachtiar, Toha Muchtar, Utuy Tatang Sontani, N.H.Dini, Rendra, dll.
*      Penamaan Angkatan ’66 diberikan oleh J.B.Jassin sebagi istilah politik. Heboh sastra terjadi pada 1968 terjadi peristiwa pengadilan karya sastra berjudul Langit Makin Mendung, dengan tujuan menghina Allah dan Nabi Muhammad. Pengarang dan penyairnya antara lain: Taufiq Ismail, Bur Rasuanto, Goenawan Muhammad, Subagio Sastra Wardoyo, Supardi Joko Damono, Titie Said Sadikun, dll.
*      Sastra angkatan 70-an memiliki banyak kesamamaan konsepsi ide dengan sastra periode 80-an(perbedaannya pada usia sastrawan,jumlah media massa dan penerbit,bukan pada hal-hal prinsip).Angkatan 80-an memiliki karakteristik: menampilkan inovasi dalam soal ide, mengetengahkan inovasi dalam ekspresi/teknik ungkapan, memberikan penghayatan lebih intens pada masalah agama, filsafat, sosial, hukum, dll. Masa subur kepenyairan periode 70-an sampai 80-an ditandia dengan munculnya ratusan penyair baru yang menciptakan lebih dari sepuluh ribu judul puisi. Sastrawan dekade 70-an dan 80-an yaitu: Putu Wijaya, Sutarji C.Bachtiar Al ahjj, Emha Ainun Najib,Y.B.Mangun Wijaya, Abdul Hadi, Danarto, Budi Darma, dll.
*      Pada masa Angkatan 2000 banyak muncul pengarang wanita yang menulis dengan ungkapan perasaan dan pikiran yang tajam dan bebas. Sastrawan dekade 90-an dan angkatan 2000: Afrizal Malna, Ayu Utami, jenar Maesa Ayu, Fira Basuki, dll.
*      Pada bab VII buku ini dijelaskan panjang lebar tentang karya-karya terpenting Indonesia dari masa ke masa. Sedangkan di bab VIII mengulas profil puisi-puisi indonesia dari angkatan Balai Pustaka sampai Angkatan 2000 pada tiap-tiap periode, serta dimunculkan pula beberapa puisi pada tiap-tiap angkatan. Pada bab IX, mengungkapkan istilah-istilah yang berkaitan dengan peristiwa sastra secara kronologis dan tren sastra mutakhir.


Buku : Ringkasan Sejarah Sastra Indonesia Modern
Karya  Sri Hastuti P
Oleh Retno M. / UNESA

Sifat umum karangan Balai Pustaka, bersifat mendidik dan mengajar, ini sesuai dengan cita-cita Balai Pustaka, misalnya pada karya-karya: Azab dan Sengasara, Pertemuan. Persoalan cerita dalam buku-buku biasanya pertentangan antara tua dan muda, meruncing dalam soal-soal perkawinan dan pengajaran sesuai dengan keadaan pengarang. Masih banyak mengarah ke cerita lama, misalnya: pantun, nasihat, klise-klise bahasa. Menceritakan tentang adat dan perkawinan, beberapa banyak yang menyinggung tentang adat tetapi pandidikan juga diutamakan. Puncak kesusastraan Indonesia pada masa Balai Pustaka yaitu muncul novel Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, Belenggu. Tokoh-tokoh Balai Pustaka: Merari Siregar, Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Jamaluddin, Hamka, Sariamin, Sunan Hs, Mohammad Kasim, Aman Datuk Majoindo,
Angkatan Pujangga Baru adalah suatu perjuangan untuk memajukan kesusastraan baru sebagai kader kebudayaan baru yang sesuai dengan jiwa baru Indonesia. Sudah ada cita-cita yang didukung bersama untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia yang baru. Sudah mulai muncul esai, puisinya ada perkembangannya: soneta prosa liris. Sudah ada bentuk drama. Sudah ada kesadaran berbahasa Indonesia. Dalam periode ini sutan takdir sebagai pengarang mulai menciptakan karya roman. Periode ini karya-karya sastra juga mulai terlepas dari perkawinan adat,  pertentangan tua dan muda.
Kesusastraan pada Masa Jepang, segah surat kabar, majalah dan buku-buku harus disensor oleh badan sensor  yang didirikan oleh jepang, yang disebut Jawa Shinbun Kai. Segala macam perkumpulan dilarang. Pada periode ini lahirlah Keimin Bunka Shidosho – kantor pusat kebudayaan.  Kerugian Pusat Kebudayaan bagi kesusastraan Indonesia, sebagai alat propaganda Jepang untuk menindas perkembangan kebudayaan Indonesia, Sebagian sanjak-sanjak Chairil Anwar ditolak oleh Panji Pustaka karena terlalu indivualistis dan bercorak barat. Idrus dengan corat-coretnya disiarkan, karena membahayakan jiwanya. Sedangkan keuntunggannya, dengan dilarangnya bahasa Belanda, bahasa Indonesia tersebar di seluruh Indonesia. Kemajuan drama sangat besar sebab hiburan pada zaman itu sangat langka. Tekanan jepang membuat pikiran pemuda Indonesia jadi masak dan dewasa, seniman-seniman mendapat individualitas. Beberapa pengarang pada masa jepang, Usmar Ismail, El hakim, Rosihan Anwar, Bakri Siregar, Nursyamsyu, Chairil Anwar.
Angkatan ’45 ialah suatu angkatan (kumpulan sastrawan muda) yang timbul di Indonesia sejak masa sesudah Perang Dunia II. Pelopornya Chairil Anwar. Angkatan 45 timbul karena mereka merasa berbeda dengan Pujangga Baru, dalam pandangan dan sikap hidup, perasaan dan sikap hidup serta pengucapannnya. Angkatan 45 dalam soal kebudayaan tidak membedakan antara Barat dan Timur, tetapi yang penting hakikat manusia.
Pembagian Golongan Angkatan Sesudah Perang:
-          Gelanggang, didirikan oleh chairil anwar merupakan perkumpulan sastrawan, pelukis dan komponis.
-          Lembaga Kebudayaan Islam (LKI), mengembangkan kesusastraan Islam dan kesenian Islam. Pada masa itu belum begitu terang menampakkan coraknya. Ikatannya kurang begitu teguh, karena berbagai pengarang dari LKI banyak juga yang turut mengarang dalam majalah-majalah, Misalnya:
a.       Siasat
b.      Indonesia
-          Lembaga Kebudayaan Kristen/katolik
Sedikit yang melahirkan penyair dan pengarang yang bercorak Nasrani, misal:
a.       Y.E Tatengkeng, dengan karya Rindu Dendam
b.      Sitor Situmorang (harapan baik, sebagai kritikus pada masanya)
Pada masa itu majalah-majalah bernafaskan Nasrani, jarang berlampiran karya sastra dan budaya.

Perkembangan Majalah
I.                   Balai Pustaka
Sari Pustaka (bulanan) 1919 (bahasa melayu
Panji Pustaka (2x seminggu) 1923 (bahasa melayu)
II.                Pujangga Baru
Pujangga Baru (bulanan) 1933 sampai zaman jepang
III.             Zaman Jepang
Panji Pustaka (Balai Pustaka)
Kebudayaan Timur 1943-1945 (pusat kebudayaan)
IV.             Angkatan 45
Siasat 1947
Gelanggang 1948
Pujangga baru (berubah menjadi “konfrontasi”) 1948-1945.




ANALISIS
Hakekat Apresiasi Sastra
Erny kurnia darmawati
PB 2011 / 112074049
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia / UNESA

            Apresiasi sastra ini berarti “mengindahkan” dan “menghargai” sebuah karya sastra atau kita juga bisa mengartikannya sebagai peristiwa atau fenomena kesenian. Hal ini disebut sebagai peristiwa kesenian yang individual dan momentan, sastra lebih bersangkutan dengan jiwa, nurani, budi, rasa, emosi, dan afeksi dari pada keterampilan tangan atau fisikal, tidak hanya sampai disini saja apresiasi sastra karena apresiasi sastra juga menjadi peristiwa kerohanian atau kekalbuan dan kewaktuan. Apresiasi sastra ini melibatkan tiga unsur ini didalamnya yakni; aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif. Apresiasi sastra bisa disebut juga kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Dapat disimpulkan bahwa apresiasi tersebut bisa tumbuh dengan baik apabila si pembaca tersebut mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasikannya, serta bisa menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi tersebut sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniah.
            Memang kita patut mengakui bahwa rumus-rumus, pola-pola, kaidah-kaidah, dan perangkat-perangkat hukum itu dapat membantu berlangsungnya apresiasi sastra. Yang  utama dalam apresiasi sastra adalah kesiapan dan keterbukaan kalbu, keadaan cita rasa, kualitas emosi, kebeningan nurani, kebersihan-ketulsan-kejujuran jiwa, daya dan ketajaman, dan sejenisnya. Hal ini  mengaplikasikan bahwa apresiasi sastra bekerja pada  tingkat subjektif dan eksistensial, bukan objektif dan diskursif sebagaimana ilmu bekerja. Dengan kesubjektifan dan keeksistensialan yang jujur, luhur, mulia, sublime, kafah, penuh kearifan, epnuh pengorbanan, penuh keberanian, dan penuh tanggung jawab niscaya seseorang mampu mendedah, kemudian menyelusup ke dalam “tulang sumsum” fenomena sastra dan mampu mengindahkan, menikmati, menjiwai, menghayati sastra secara khusuk dan kafah. Dalam diri seseorang akan tubuh serta berkembang dan terpelihara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra. Di sini terjadilah hubungan dialektis antara karya sastra dan manusia selaku pengapresiasi sastra. Dapat disimpulkan bahwah apresiasi sastra sebenarnya bukan merupakan konsep abstrakyang tidak pernah terwujud dalam tingkah laku, melainkan merupakan pengertian yang di dalamnya menyiratkan adanya suatu kegiatan yang harus terwujud sacara konkret.

Apresiasi Prosa Fiksi
Hakikat Apresiasi

Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti ‘mengindahkan’ atau ‘menghargai’. Dalam konteks yang lebih luas, menurut Gove mengandung makna ;
(1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin
(2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh pengarang. Sehingga apresiasi adalah kegiatan yang meliputi empat aspek keterampilan berbahasa, dengan menggauli secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap sebuah teks naratif, dalam hal ini karya sastra. Apresiasi berhubungan dengan argumentasi penilaian baik buruk . Tidak hanya itu mengapresiasi juga mengemukakan tentang pemahaman serta pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang terdapat dalam suatu karya sastra yang di ungkapkan pengarang. Dalam apresiasi suatu karya sastra juga diperlukan sikap intensif dalam menilai dan memahami karya sastra sehingga akan muncul kesan serta pemahaman yang menimbulkan munculnya suatu wujud dari apresiasi yang dimaksudkan oleh pengarang. Selain itu untuk mendapatkan nilai-nilai yang ada dalam karya sastra seseorang harus mengakrabi, menghayati, menafsirkan, dan merenungkan apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Untuk mendapatkan nilai-nilai serta untuk mengetahui keindahan yang terdapat dalam suatu karya sastra tersebut seseorang harus mampu mengidentifikasi karena dengan melakukan identifikasi seseorang dapat memperoleh pengetahuan, penemuan kemungkinan baru, dari penikmatan dalam penggunaan bahasa. Untuk memahami suatu karya sastra sebagai tujuan tindak apresiasi, pembaca harus mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan ilmu sastra, memahami unsur-unsur sastra, dan kreatif melakukan analisis dan interprestasi
.


Bekal Awal Seorang Apresiator
Seorang apresiator harus memiliki bekal yang memadai untuk melakukan tindakan apresiasi. Bekal yang harus dimiliki seorang apresiator terdiri atas: bekal pengetahuan, bekal pengalaman yang berhubungan dengan kemanusia dan kehidupan ,dan bekal kesiapan diri. Kesiapan diri yang dimaksudkan dalam hal ini berarti seorang apresiator  harus ada keterlibatan jiwa terhadap karya sastra itu, artinya apresiator sedapat mungkin bias menyelaraskan antara jiwanya dengan jiwa pencipta sastra dalam karya sastra tersebut. Kemudian harus memiliki rasa kenikmatan terhadap seni, sebuah karya satra senantiasa mempunyai unsure seni di dalamnya, karena itu apresiator akan merasa nikmat batinnya sehingga merasa dan menganggap dirinya yang mengarap atau menciptakan karya itu. Kepekaan emosi atau perasaan juga diperlukan oleh apresiator sehingga pembaca akan mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta satra. Seorang apresiator juga harus memiliki penghayatan yang pekat, artinya apresiator akan merasa puas apabila dalam karya sastra mampu mengungkapkan pelambangan dan pengalaman pencipta karya sastra. Tidak hanya itu apresiator harus bias menemukan masalah, pada kegiatan apresiasi ini, apresiator harus dapat menemukan dan menghubungkan kenyataan hidup yang dihadapi dengan masalah yang ada dalam karya sastra. Bahwa apresiasi sastra adalah suatu bentuk kegiatan menggauli sastra dengan cara membaca, memahami, menilai, dan menikmati, serta menghargai karya sastra.
                 



Bekal Awal Pengapresiasi Sastra
            Penumbahan sikap serius dalam membaca cipta sastra hal ini terjadi karena sastra bagaimanpun lahir dari daya kotemplasi batin pengarang sehingga untuk memahaminya juga membutuhkan kepemilikan daya kotemplatif pembacanya. Sastra merupakan bagian dari seni yang berusaha menampilkan nilai-nilai keindahan yang bersifat aktual dan imajinatif sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah pembacanya. Sastra sebagai cabang seni sebagai bacaan, tidak cukup dipahami lewat analisis kebahasaanya, lewat studi yang disebut text grammar atau texs linguistics, tetapi harus melalui studi khusus yang berhubungan dengan literary texs karena teks sastra bagaimanapun memiliki cirri-ciri tersendiri yang berbeda dengan ragam bacaan lainnya.
            Sastra mengandung unsure yang cukup kompleks antara lain; unsure keindahan, unsur kotemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai atau renungan tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai macam kompleksitas permasalahan kehidupan, media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana, serta unsur-unsur intrinsic yang berhubungan dengan cirri karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagai suatu teks. Sejalan dengan kandungan keempat aspek diatas, maka bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator adalah; kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra, kepemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan maslah kehidupan dan kemanusiaan, baik lewat penghayatan kehidupan ini secara intensif-kotemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat dan psikologi, pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsic cipta sastra yang akan berhungan dengan telaah teori sastra.
            Pemilikan bekal pengetahuan dan pengalaman dapat di ibaratkan sebagai pemilikan pisau bedah, sedangkan kegiatan menggauli cipta sastra itu sebagai kegiatan pengasahan pisau itu sehingga bisa menjadi tajam dan semakin tajam, yakni jika pembaca itu semakin sering dan akrab dengan kegiatan membaca sastra. Kepekaan emosi dan perasaan itu bukan hanya berhubungan kegiatan penghayatan dan pemahaman nilai-nilai keindahan, melainkan juga berhubungan dengan usaha pemahaman kandungan makna dalam cipta sastra yang umumnya bersifat konotatif.

Bekal awal seorang Apresiator
Menurut Drs. Aminuddin, M.Pd.
Untuk mengapresiasi karya sastra, seorang calon apresiator harus memiliki bekal awal sejalan dengan kandungan unsur karya sastra. Dimana unsur karya sastra tersebut antara lain:
1.      Unsur keindahan
2.      Unsur kontemplatif yang berisi tentang kompleksitas permasalahan hidup
3.      Media pemaparan, baik dalam bentuk  media kebahasaannya maupun struktur wacananya
4.      Unsur-unsur intrinsik karya sastra yang menjadi ciri sebagai teks
Bekal awal seorang Apresiator antara lain:
1.      Kepekaan emosi atau perasaan diperlukan agar unsur keindahan dapat tercipta di dalam karya sastra, selain itu untuk dapat memahami kandungan makna konotatif dalam karya sastra
2.      Pengetahuan tentang masalah hidup
3.      Pemahaman terhadap aspek kebahasaan
4.      Memiliki pemahaman unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra 

Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M.
Untuk keperluan menganalisa apresiasi sastra meliputi tiga langkah yang satu dengan yang lainnya dapat dan perlu dibedakan
1.      Keterlibatan jiwa, seorang apresiator bisa memahami masalah-masalah, merasakan perasaan-perasaan dan dapat membayangkan dunia khayali yang diciptakan sastrawan. Melalui penghayatan yang pekat ini berarti calaon apresiator sudah menikmati karya sastra
2.      Memahami cara-cara penyajian pengalaman penulis, yaitu mengagumi penguasaan penulis dalam memilih, mengolah, dan menyusun lambang-lambang.
3.      Menemukan hubungan pengalaman  yang di dapat dalam karya sastra dengan kehidupan yang nyata
Menurut Burhan Nurgiayantoro
Calon apresiator harus memiliki kemampuan untuk
1.      Mampu menguraikan unsur-unsur pembentuk yang berupa unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra
2.      Harus memiliki kemampuan menganalisis secara baik, teliti, dan kritis
3.      Dapat menemukan sesuatu yang baru yang rdapat pada karya sastra, sebagai kompleksitas karya yang bersangkutan
4.      Dibutuhkan pengetahuan tentng kode bahasa, kode sastra dan kode budaya

Kholifah / UNESA

Hakikat Apresiasi  
Karya sastra yaitu suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat khayalan sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Dalam sastra menawarkan berbagai permasalahan kahidupan manusia dalam interaksinya dengan Tuhan, lingkungan maupun sesama dirinya sendiri. Sastra merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadarandan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni yang bertujuan memberi hiburan kepada pembaca, disamping itu dapat membuat manusia lebih arif. Di dalam dunia sastra terdapat juga bentuk sastra yang berdasarkan pada fakta, seperti fiksi historis, fiksi biografis, dan fiksi sains.
Ada perbedaan antara kebenaran dalam dunia fiksi dengan kebenaran dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi sesuai dengan keyakinan pengarang, sesuai dengan pandangan pengarang terhadap masalah kehidupan. Di dalam karya sastra terdapat tegangan yang diberi oleh pengarang, adanya tegangan itu bertujuan untuk memacu sikap kritis pembaca. Dengan demikian untuk memahami karya sastra dalam aktifitas apresiasi harus melakukan pembacaan secara intensif, melakukan penafsiran, menganalisis dan mengevaluasi.
Terdapat beberapa kriteria untuk dapat menilai karya sastra, antara lain:
Ø  Adanya kesatuan dalam karya sastra
Ø  Dapat dinikmati oleh pembaca
Ø  Adanya wawasan yang diberikan oleh pengarang
Ø  Adanya gambaran tentang kenyataan
Ø  Memberi perubahan dalam masyarakat
Ø  Mengangkat nilai moral
Ø  Menguatkan tradisi suatu ragam dalam masyarakat
Kegiatan apresiasi dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu kegiatan apresiasi secara reseptif dan kegiatan apresiasi secara produktif. Reseptif atinya melakukan kegiatan pemahaman tehadap karya sastra secara memusat. Sedangkan apresiasi secara produktif  ialah pemahaman dan pemberian tanggapan tertulis terhadap karya satra.
Kegiatan apresiasi meliputi tiga tahapan pokok, yaitu keterlibatan jiwa, pemahaman terhadap cara-cara penulisan, pendialogan antara hasil pemahaman dengan pengamatan terhadap kehidupan di sekitarnya.



PENDEKATAN DALAM APRESIASI PROSA FIKSI
Oleh
 Debbing Kumalasari / 112074035 / PB 2011
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia / UNESA

Seorang apresiator dalam mengapresiasi karya sastra, terutama karya sastra yang berbentuk prosa fiksi tentunya membutuhkan pendekatan-pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang dapat ia gunakan untuk mengapresiasi antara lain:
Pendekatan objektif
Pendekatan objektif ini memandanga bahwa karya sastra merupakan suatu hal yang utuh. Untuk mengapresiasi karya sastra menggunakan pendekatan ini, sang apresiator cukup hanya membaca dan mencermati hal-hal yang ada di dalam karya sastra tersebut.
Pendekatan memesis
Berbeda dengan pendekatan objektif, pendekatan mimesis memandang bahwa karya sastra ditulis oleh pengarang berdasarkan pengalamannya. Dalam menggunakan pendekatan ini sang apresiator hendaknya mengaitkan alam semesta sekitarnya dengan karya yang dihadapinya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.
Pendekatan genetis
Psikologi, riwayat pengarang, pengalaman pengaran, dan lain sebagainya tentu mempunyai hubungan erat dengan karya seorang pengarang dan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam karya sang penulis tersebut. Dalam pendekatan genetis ini sang apresiator perlu mengetahui tentang hal-hal yang mengenai pengarang supaya dapat memudahkannya dalam memahami karya sastra yang dihadapinya. Yang perlu diketahui apresiator misalnya: biografinya, riwayat pendidikannya,
Pendekatan Pragmatik
Pendekatan ini berhubungan erat dengan respon masyarakat. Dalam pendangan pendekatan ini, apabila respon yang diterima dari masyarakat baik, dapat menghibur, memberikan pengalaman, pengetahuan baru, maka karya sastra tersebut dapat dikatakan bermakna. Karya sastra harus dapat memberikan manfaat terhadap pembacanya, dapt digunakan sebagai alat intropeksi diri. Pendekatan pragmatic ini akan membantu apresiator untuk mengapresiasi karya sastra, namun akan lebih baik apabila mengapresiasi karya sastra tidak hanya menggunakan pendekatan ini saja, melainkan memadukan pendekatan-pendekatan yang launnya. Namun, tidak semua pendekatan dapat dipadukan begitu saja.
Pendekatan moral – filosofis
Dalam hal ini karya sastra yang diungkapkan oleh pengarang berkaitan erat dengan pengalaman hidup manusia yang tek lepas dari kebenaran paten menurut masyarakat. Berbicara mengenai karya sastra yang disampaikan dengan pengalaman Sang Penulis, karya sastra tentunya tek lepas dari kebudayaan. Kepekaan rasa mengenai ajaran baik buruk dalam karya sastra diperlukan pembaca atau apresiator untuk menghayati dan paham akan karya yang dibacanya, sehingga pada akhirnya terdapat reaksi tindakan untuk hal tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setelah membaca karya sastra, manusia akan lebih dapat meningkatkan kualitas moral.
Pendekatan Psikoanalitik
Psikologi dan karakter yang dimiliki setiap individu akan membawa individu tersebut memperlakukan bahasa dalam sebuah karya sastra dengan cara yang berbeda. Ia akan menghubungkan dunia imajinasinya setelah membaca teks karya sastra dengan alam nyata yang sedang ia hadapi ketika membaca. Akan memunculkan motivasi-motivasi, inspirasi baru yang ia hubungkan dengan peristiwa-peristiwa dalam karya sastra. Sang apresiator akan menafsirkan sebuah bahasa-bahasa dalam teks karya sastra sesuai dengan keadaan jiwanya, atau dengan psikologi yang ia bawa ketika mengapresiasi sehingga akan memunculkan pola, perjalanan teks tersebut dibentuk oleh pengarang.
Pendekatan struktural
Pendekatan ini memandang bahwa karya sastra terdiri dari beberapa potongan-potongan unsur yang saling berhubungan erat satu sama lainnya. Untuk menganalisis karya sastra, hal yang perlu dilakukan apresiator adalah dengan menganalisi
Pendekatan Resepsi-Estetik
Menurut pandangan resepsi – estetis ketika pembaca berhadapan langsung dengan teks karya sastra, ia akan terdorong untuk membawa teks tersebut pada dunia pemikirannya dan cita rasa yang ia miliki sehingga akan memaknai atau mematok makna mengenai hal-hal dalam sebuah karya sastra tersebut menurut pemikiran dan perasaannya. Pemaknaan teks pada karya sastra yang ia baca sangat dipengaruhi oleh pengalaman sejarah hidupnya dengan permainan logika.
Pendekatan Tekstual
Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai hal yang hanya berdiri sendiri atau mandiri. Untuk mengkaji karya tersebut, apresiator cukup mecermati dan memahami kalimat demi kalimat dan kata-kata yang ada dalam teks. Tak perlu mengaitkannya dengan unsur-unsur luar seperti biografi pengarang, jenis kelamin pengarang, atau yang lainnya. Fokusnya apresiator hanya pada rangkaian kalimat pada teks karya sastra yang dihadapinya.
Pendekatan Generik
Pendekatan ini memerlukan pengetahuan tentang sastra yang cukup. Untuk mengapresiasi karya sastra menggunakan pendekatan ini sang apresiator seharusnya mempelajari atau mengetahui genre sastra dengan cukup baik. Sehingga ketika mengahadapi sebuah karya sastra, apresiator dapat mengaitkannya dengan informasi sastra yang ia tangkap dari karya sastra yang ia baca dengan informasi sastra yang sejenis. Karena pendekatan ini tidak dapat digunakan tanpa mengaitkan dengan sastra-sastra sejenis lainnya. Apresiator akan menjadi mudah menangkap apa maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karyanya. Karena biasanya terdapat kesalahan persepsi antara pengarang dengan pembaca, apa yang ingin disapaikan pengarang tidak tersampaikan dengan baik.
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual berpandangan bahwa pengarang mengangkat sebuah karyanya dari pengalaman hidupnya (berasal dari lingkungan hidupnya). Sesuai dengan namanya “kontekstual” berarti perlu mengaitkan karya sastra prosa fiksi tersebut dengan konteks-konteks yang ada disekitarnya. Perlu pula mengomunikasikan apa yang disampaikan pengarang dalam karya sastra dengan pengetahuan dan pengalaman apresiator secara intensif. Sehingga akan didapatkan pemahaman yang mendalam apabila apresiator tahu dan mampu mengaitkan konteks sosial pengarang dan konteks sosial karangan dengan konteks sosial apresiator.
Pendekatan Biografis
Pendekatan biografis merupakan pendekatan yang berpandangan bahwa karya sastra merupakan hasil karya pengarang secara utuh. Karena pendekatan ini berpandangan demikian, maka sang apresiator perlu mengetahui seluk beluk tentang penulis untuk memahami karyanya dengan baik dan mendalam. Yang perlu diketahui oleh apresiator dalam hal ini misalnya riwayat hidupnya, riwayat pendidikan, perjalanan hidupnya, pandangannya terhadap sesuatu seperti ilmu, sosial, polotik, budaya, dan lain sebagainya. Melalui pendekatan ini sang apresiator dapat mendalami dan memahami maksud (hal yang ingin disampaikan  pengarang kepada pembaca) dengan menghubungkan karya sastra tersebut dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Pendekatan Psikologis
Pandangan psikologis babhwa karya sastra memiliki hubungan erat dengan psikologi pengarang, psikologi pembaca maupun karya sastra tersebut. Karangan penulis merupakan cerminan dari psikologi pengarang. Pendekatan ini memandang bahwa hasil karya pengarang merupakan hasil dari pengembangan pengalaman sang penulis yang ditulis secara tidak sadar. Akan didapatkan analisis yang mendalam apabila pendekatan ini dipadukan dengan pendekatan psikoanalitik agar apresiator mampu mengungkapkan aspek-aspek ketidaksadaran penulis.
Pendekatan berorientasi Pembaca
Pendekatan ini orientasinya pada pembaca. Sehingga pembaca akan membawa teks yang dibacanya dalam pemikiran, perasaan, dan imajinya. Pembacalah yang akan memberikan makna terhadap karya sastra tersebut. Untuk dapat mengamati karya sastra dengan baik, apresiator harusnya melakukan pembacaan yang intensif terhadap karya sastra. Selain untuk dapat memahamai karya sastra dengan baik, membaca intensif juga dapat membantu apresiator untuk menemukan hal-hal yang tersirat dalam karya tersebut. Pendekatan ini juga memandang pengalaman baca Sang Apresiator sangat penting untuk dapat menghasilkan hasil apresiasi yang baik.
Pendekatan Feminis
Berbicara mengenai feminis, tentunya berbicara pula mengenai kesetaraan gender. Pendekatan ini membahas bagaimana peran wanita dalam dunia sastra, karya-karya yang dihasilkannya, daya baca dan kreasinya dalam menciptakan sebuah karya sastra

Apresiasi dapat diartikan sebagai kegiatan menggauli karya sastra. Menikmati, memahami, menghayati karya tersebut. Dan kemudian memberikan penghargaan atau penilaian terhadapnya. Kegiatan apresiasi, terutama apresiasi prosa fiksi antara lain penikmatan atau pengenalan, pendekatan, menyenangi, menghargai, pemahaman, dan penghayatan. Memahami karya sastra yang dilakukan dengan meneliti dan menganalisis unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik suatu karya sastra. Untuk menganalisis karya sastra tersebut dapat dilakukan dengan cara membacanya terlebih dahulu. Membaca karya sastra sebaiknya dilakukan dengan mengulanginya berkali-kali untuk dapat mengenal karya sastra tersebut dengan baik.  Penghayatan karya sastra selanjutnya adalah menafsirkan dan menyusun pendapat berdasarkan analisis yang telah dibuat.
Burhanudin mengatakan dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi bahwa jika kerja analisis kesastraan dimaksudkan untuk memahami secara lebih baik sebuah karya, merebut makna, menafsirkan makna berdasarkan, berbagai kemungkinannya, analisis tersebut telah melibatkan kerja hermeneutic (ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya). Burhanudin menyamakan istilah apresiasi dengan kajian.
Pendapat yang lain adalah pendapat dari sumber buku Apresiasi Sastra  Indonesia yang mengatakan bahwa apresiasi adalah proses pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan, subjektif dan ekstensial, rohaniah dan budimah, khusuk dan kafah, dan intensif dan total supaya memperoleh sesuatu dari padanya sehingga tumbuh, berkembang dan terpiara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan dan keterllibatan terhadap karya sastra. Ini berarti menurut Djakop Saryono hanya sekedar kita senang terhadap karya ssastra sudah termasuk apresiasi.
Selain itu dalam buku Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi karya Moh. Najid menyebutkan bahwa untuk memahami karya sastra sebagai tujuan tindak apresiasi, pembaca harus mengetahui teori-teoriyang berkait dengan ilmu sastra, memahami unsur-unsur sastra dan kreatif melakukan analisis dan interpretasi. Selain itu Moh. Najid juga mencantumkan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memahami karya sastra dalam aktifitas apresiasi. Langkah-langkah tersebut antara lain adalah penghayatan, penafsiran, analisis, penilaian atau evaluasi.
Dalam mengapresiasi tentunya tak lepas dari menafsir gerak budaya atau kehidupan masyarakat. Dalam hal ini pengetahan mengenai kehidupan sangatlah penting untuk seorang apresiator. Sedangkan hal yang mendasar yang harus dimiliki Sang Apresiator adalah rasa ingin tahu keinginan untuk membaca dan menggeluti karya sastra. Karena dalam mengapresiasi terdapat kegiatan analisis, maka apresiator juga harus memiliki bekal berupa pengetahuan mengenai kesastraan
Karena karya sastra fiksi disampaikan dengan bahasa yang indah, maka apresiator harus memiliki pengetahuan tentang bahasa untuk memudahkan analisisnya. Dibutuhkan ketelitian dan kepekaan terhadap segala sesuatu yang ada pada karya fiksi tersebut ketika menganalisis.
Seperti yang diungkapkan Moh. Najid dalam bukunya Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi bahwa bekal awal seorang apresiator adalah harus memiliki pengetahuan tentang karakteristik karya sastra, pengetahuan tentang manusia, pengetahuan tentang kehidupan, dan pengetahuan tentang bahasa. Apresiator harus paham pengertian prosa fiksi, sejarah perkembangan prosa fiksi, jenis-jenis prosa fiksi, unsur-unsur pembentuk prosa fiksi dan yang lainnya.
Pengetahuan tentang manusia digunakan apresiator untuk memahami dan menghayati karakter setiap tokoh dalam karya sastra dengan sebaik-baiknya.
Bekal pengetahuan tentang pengetahuan kehidupan diperlukan agar apresiator mampu mendialokkan pengetahuan kehidupan yang telah dimilikinya dengan fenomena kehidupan yang diungkapkan penulis dalam karya sastra yang dibacanya.
Sedangkan pengetahuan bahasa sangatlah penting karena karya sastra ditulis dengan bahasa dan dalam bahasa tertentu. Selain itu dalam sumber buku Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi menambahkan perlunya memiliki bekal pengalaman menggeluti dan menggauli karya sastra. Selain kedua bekal tersebut, kesiapan jiwa perlu dimiliki pula untuk bekal mengapresiasi. Kesiapan jiwa meliputi: kestabilan emosi, pemusatan perhatian, dan kesiapan pikiran.

Daftar Rujukan
Nurgiantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press
Najid, Moh. 2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press
Saryono, Djoko. 2006. Apresiasi Sastra Indonesia. Sidoarjo : PT. Alfath Putra

UNSUR-UNSUR PROSA FIKSI

Oleh Debbing Kumalasari / 112074035 / PB 2011
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia / UNESA


Unsur- unsur fiksi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Dalam bukunya Burhan Nurgiantoro “Teori PengkajianFiksi” dikatakan bahwa unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada diluar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra, dapat pula dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian didalamnya. Unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik terdiri dari keadaan subejektivitas individu pengarang, berupa sikap keyakinan, pandangan hidup, psikologi, baik psikologi pengarang maupun psikologi pembaca, maupun penerapan prisip psikologi dalam karya. Selain itu keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga merupakan unsur ekstrinsik pula.
Moh. Najid (2009:23) terdapat tiga unsur penting pada aspek internal prosa fiksi, yaitu: fakta cerita, sarana cerita, tema dan amanat cerita. Yang termasuk fakta cerita meliputi tokoh , alur, dan latar.
Menurut Burhan Nurgiyantoro susunan alur dalam karya fiksi dapat dibagi menjadi tiga  bagian, yaitu awal, tengah dan akhir.  Pada bagian awal sebagai eksposisi / paparan. Bagian tengah menyajikan konflik yang bisa berupa konflik batin atau konflik sosial. Bagian akhair merupakan bagian peleraian. Sebuah cerita dapat beralur tetutup jika semua persoalan tersedia jawaban atau penyelesaiannya secara eksplisit. Sedangkan alur terbuka terjadi apabila semua persoalan tidak ditemukan jalan keluarnya pada tokoh. penyelesaian persoalan diserahkan sepenuhnya pada pembaca. Disisi lain, Moh. Najid mengungkapkan bahwa alur cerita dapat dibedakan menjadi alur lurus dan alur sorot balik. Sebuah cerita disebut beralur lurus apabila cerita tersebut disusun dari awal kejadian dan diteruskan kejaadian berikutnya secara linier. Namun apabila peristiwa dalam cerita tidak bergerak linier, maka termasuk beralur sorot balik. Berdasarkan atas tingkat kepaduan alur sebuah cerita, muncul alur rapat dan alur renggang. Alur rapat apa bila dalam cerita hanya terdapat terdapat perkembangan cerita yang berpusat pada tokoh tertentu saja. Sedangkan alur renggang apabila ceritanya berpusat pada tokoh utama dan tokoh-tokoh lain.
Tokoh adalah pelaku yang mendukung peristiwa sehingga menjalin suatu cerita .Tokoh tentunya tidak lepas dari yang namanya penokohan yang merupakan cara pengarang menampilkan tokoh. Moh. Najid mengatakan dalam bukunya yang berjudul Mengenal Apresiasi Prosa fiksi tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sentral atau sering disebut tokoh utama atau tokoh inti dan tokoh periferal, yang akrap dengan sebutan tokoh tambahan, tokoh pembantu, atau tokoh bawahan. Penentuan kedua tokoh tersebut didasarkan pada frekuensi muncul, komentar pengarang, dan judul cerita. Tokoh utama akan sering muncul pada setiap episode, sedangkan tokoh tambahan sebaliknya. Bardasarkan karakternya, tokoh dapat dibedakan lagi menjadi tokoh sederhana dan tokoh kompleks. Tokoh sederhana biasanya hanya ditonjolkan dari satu dimensi saja. Dalam dunia prosa fiksi, terdapat pula tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh yang membawa ide prinsipil atau gagasan pokok disebut tokoh protagonis, sedangkan tokoh yang melawan ide prinsipil disebut sebagai tokoh antagonis. Tokoh yang berfungsi sebagai pendamai atau perantara antara protagonis dan antagonis disebut tokoh tritagonis. Cara pengarang untuk menggambarkan tokoh ceitanya yaitu dengan cara langsung (analitik), cara tak langsung ( dramatik) dan campuran. Pengarang yang langsung menggambarkan atau menguraikan keadaan tokoh merupakan cara langsung. Jika pengarang memberitahukan keadaan tokoh secara samar, pelukisan ini disebut tak langsung.
Latar dalam prosa fiksi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu latar waktu, tempat dan sosial. Dan latar juga memiliki dua tipe, tipe yang pertama yaitu fisikal, sedangyang kadua adalah psikologis. Latar fisikal umumnya berupa benda-benda yang kongret seperti ruangan, benda-benda padat. Namun apabila latar tersebut mampu menggerakkan emosi pembaca ,maka latar tersebut berfungsi menjadi latar psikologis.
Menurut Burhan Nurgiantoro pada bukunya Teori Pengkajian Fiksi,sarana pengucapan sastra adalah teknik yang diguankan oleh pengarang untuk memilih dan menyusun detil-detil cerita menjadi pola yang bermakna. Yang dimaksud sarana kesastraan antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme dan ironi. Setiap novel akan memiliki tiga unsur pokok dan menjadi unsur penting, yaitu: tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Moh. Najid yang termasuk sarana cerita pada prosa fiksi antara lain:  judul, sudut pandang, serta gaya dan nada.
Elemen atau lapisan luar dari prosa fiksi disebut judul. Judul dapat dapat menjadi cerita keseluruhan dan biasanya berkaitan erat dengan tema, latar,konflik, tokoh, simbol cerita, dan lain sebagainya.
Sudut pandang adalah cara memandang tokoh-tokoh cerita denagn menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Jenis-jenis sudut pandang antara lain pencerita sebagai pelaku utama, pencerita sebagai pelaku tetapi bukan sebagai pelaku utama, pencerita serba hadir, dan pencerita sebagai peninjau.
Bahasa dalam prosa fiksi memiliki fungsi untuk penyampaian gagasan pengarang sekaligus sebagai penyampai perasaannya. Pengarang dapat memberdayakan bahasa menggunakan perbandingan,  menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya.
Nada dalam prosa fiksi merupakan ekspresi sikap dan merupakan kualitas gaya pengarang dalam menyampaikan cerita serta merupakan sikap pengrang terhadap pembaca
Tema dalam prosa fiksi merupakan dasar dari cerita dan dapat juga dikatakan sebagai ide atau tujuan utama cerita. Tema terbagi menjadi dua, tema mayor dan tema minor. Tema mayor yaitu permasalahan yang dominan yang menjiwai cerita. Sedangkan tema minor adalah persoalan-persoalan kecil yang mendukung keberadaan tema mayor.
Setiap pengarang tentunya memilikitujuan yang ingin dicapai dari karya yang dihasilkannya, dan inilah yang dinamakan amanat. Amanat dibedakan menjadi ajakan, saran atau anjuaran.

Menurut pandangan strukturalisme, unsur fiksi dapat dibedakan menjadi unsur cerita dan wacana.

Daftar Rujukan:
Najid, Moh.2009. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya: University Press
Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo




Tidak ada komentar:

Posting Komentar